Medan – Pernyataan Kapolda Sumatera Utara yang menyebut aksi mahasiswa di depan Gedung DPRD Sumut pada 26 Agustus 2025 sebagai “gangguan ketertiban” menuai kecaman keras dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Medan. Bagi organisasi mahasiswa ini, komentar Kapolda bukan hanya keliru, melainkan juga sebuah ironi demokrasi.

Ketua Umum HMI Cabang Medan, Cici Indah Rizki, menilai aparat justru kehilangan nalar ketika suara mahasiswa yang menolak tunjangan mewah DPR dianggap sebagai biang kekacauan. “Mari kita jujur saja, siapa yang sebenarnya lebih mengganggu ketertiban: mahasiswa yang berteriak di jalan, atau pejabat yang menguras uang negara untuk memenuhi selera kemewahan? Kalau suara mahasiswa dianggap gangguan, maka demokrasi kita tidak lebih dari papan iklan yang dipasang saat pemilu lalu dibuang setelahnya,” sindir Cici.

Alih-alih melindungi aspirasi rakyat, aparat justru menahan 39 orang peserta aksi, terdiri dari 15 mahasiswa dan 24 non-mahasiswa. Mereka digelandang ke Mapolda Sumut dengan dalih pemeriksaan. HMI menilai langkah ini sebagai bentuk kriminalisasi yang terang-terangan. “Lucu sekali, mahasiswa yang membawa spanduk bisa langsung ditangkap, tapi koruptor yang membawa koper uang rakyat malah sering difasilitasi. Ini barangkali definisi baru tentang ketertiban versi aparat: rakyat diam itu tertib, pejabat bermewah-mewahan itu sah,” tambah Cici dengan nada sarkastis.

HMI Cabang Medan mendesak agar 39 orang yang ditahan segera dibebaskan tanpa syarat. Menurut mereka, tidak ada alasan hukum yang sah untuk menahan mahasiswa dan masyarakat yang hanya menyuarakan kepentingan rakyat. “Kalau memang aparat mengaku menjunjung tinggi keadilan, maka buktikan dengan membebaskan mereka. Menahan mahasiswa bukanlah penegakan hukum, melainkan pelecehan terhadap demokrasi. Polisi harus ingat, yang mereka seret ke kantor bukan kriminal, tapi anak-anak bangsa yang punya keberanian melawan ketidakadilan,” tegas Cici.

HMI juga menilai stigma yang dilekatkan Kapolda terhadap mahasiswa hanyalah cara murahan untuk membungkam kritik. Polisi yang seharusnya menjadi pengayom berubah menjadi juru bicara kekuasaan. “Kalau setiap mahasiswa turun ke jalan lalu dicap pengganggu, maka sebaiknya Kapolda sekalian pasang tulisan besar di depan DPRD: Dilarang Bersuarakan Aspirasi, Mengganggu Ketentraman Pejabat yang Lagi Nyaman,” ucap Cici pedas.

Menurut HMI, pernyataan Kapolda bukan hanya melecehkan mahasiswa, tetapi juga mencoreng wibawa institusi kepolisian. Polisi seharusnya menegakkan hukum dan menjaga hak konstitusional warga, bukan menambah daftar panjang luka demokrasi dengan pernyataan yang dangkal. “Jika suara mahasiswa saja sudah dianggap ancaman, maka jelas yang sedang ditakuti bukan keributan di jalan, melainkan kebenaran yang dibawa oleh mahasiswa,” tegasnya lagi.

HMI Cabang Medan menutup sikapnya dengan pernyataan keras: mahasiswa tidak akan berhenti bersuara meski dicap pengganggu, ditahan, atau dikriminalisasi. “Kalau keberanian kami untuk bersuara disebut gangguan, maka kami akan terus mengganggu sampai nurani bangsa ini kembali hidup. Karena lebih baik menjadi pengganggu bagi kekuasaan, daripada menjadi penonton diam ketika rakyat diperas oleh mereka yang duduk di kursi empuk. Dan untuk itu, pembebasan 39 orang yang ditahan adalah harga mati—karena suara rakyat tidak boleh dipenjara,” pungkas Cici.

Rasyid Siddiq
Editor
admin
Reporter