Aku Washliyah, Aku HMI

Oleh: Rasyid Siddiq S.H

 

“Aku Alwashliyah, tapi aku HMI.” Kalimat ini mungkin terdengar aneh bagi sebagian orang. Bukankah seharusnya identitas keorganisasian itu tunggal dan loyalitas tidak terbagi?

Bagiku, justru di sinilah letak kekayaan intelektual dan spiritual sebagai seorang kader umat dan bangsa.

Saya lahir dan besar dalam keluarga besar Al Jam’iyatul Washliyah, sebuah organisasi Islam yang berdiri sejak tahun 1930 dan berakar kuat dalam pendidikan, dakwah, dan amal sosial. Semangat keislaman dan kebangsaan diajarkan sejak dini tentang pentingnya ilmu, akhlak, dan pengabdian kepada masyarakat.

Sejak SD hingga Aliyah saya bersekolah di Al Washliyah dan kalangan keluarga juga bersekolah di Washliyah, saya tumbuh dalam lingkungan madrasah dan majelis taklim Washliyah. Identitas ini merupakan bagian dari darah dan sejarah hidup saya.

Hingga pada akhirnya saat saya melanjutkan jenjang pendidikan di salah satu perguruan tinggi islam negeri yang berada di sumatera utara tepatnya di Fakultas Syariah & Hukum UIN Sumatera Utara saya bertemu dengan rumah baru, dan menurut yang saya lihat langsung, rumah itu merupakan rumah para kaum intelektual, rumah yang saya maksud ialah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Organisasi ekstra kampus yang membuka cakrawala pemikiran saya tentang Islam dan Keindonesiaan dalam konteks yang lebih luas dan dinamis.

Di HMI, saya belajar berbicara dengan data, berpikir kritis, dan berdialektika dengan berbagai perspektif, bahkan yang berbeda dengan tradisi keislaman saya sebelumnya.

Next, apakah itu berarti saya meninggalkan Al Washliyah? Tentu tidak.

Lantas salahkah tindakan yang saya ambil? Tentu argumentasi yang saya bangun bahwa sangatlah sempit jika berislam hanya terfokus pada golongan tertentu, justru islam di HMI adalah islam yang moderat, dimana mempunyai konsep yang menekankan keseimbangan, toleransi, dan akomodasi dalam beragama dan berkehidupan.

HMI merupakan bentuk Islam yang menekankan nilai-nilai inklusivisme dan pluralisme.

Justru saya menyadari bahwa menjadi kader HMI yang berasal dari Al Washliyah memperkaya pandangan saya, menjadikan jembatan antara tradisi dan progresivitas, antara akar dan arah. Bagi saya, Alwashliyah mengakar, HMI menggerakkan.

Saya tidak melihat perbedaan ini sebagai pertentangan, tetapi sebagai sinergi. Bukankah umat Islam pernah jaya justru karena keberagaman madzhab, pemikiran, dan strategi dakwah? Maka, menjadi bagian dari dua entitas ini bukan bentuk pengkhianatan, melainkan bentuk keutuhan dalam peran: sebagai kader umat dan kader bangsa.

Terakhir aku ingin menyampaikan bahwa kecintaanku pada Alwashliyah & HMI tak kan pudar dan luntur hingga akhir hayat.

 

“Aku Washliyah, aku HMI.”

Itu bukan kontradiksi, tapi jalan tengah menuju kontribusi.

 

Hidup Washliyah Zaman Berzaman

Teruslah hijau agar tetap tumbuh dan teruslah hitam yang kaya akan ilmu pengetahuan.

 

#Yakusa Zaman Berzaman

Imam Sarianda
Editor
admin
Reporter