PELAJARAN PENTING FALSAFAH DALIHAN NA TOLU UNTUK KEDAULATAN EKONOMI INDONESIA
Oleh : Rahmat Kurniawan
(Alumni Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Padangsidimpuan)
Segala pujian milik Allah SWT, Allah SWT lah yang telah menjadikan manusia hidup berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya para manusia dapat mengenal satu sama lain dalam mengarungi kehidupan dunia menuju kehidupan kekal abadi. Semoga Allah memberkahi bangsa Indonesia menjadi bangsa Baldatun Toyyibatun Wa robbun Gofur.
Konsepsi “Dalihan Na Tolu” dalam kehidupan Bermasyarakat. Dalihan na tolu merupakan falsafah hidup masyatakat Batang Angkola di Kota Padangsidimpuan.
Secara etimologi dalihan na tolu berarti tungku yang tiga. Tungku merupakan tempat memasak yang terdiri dari tiga buah batu yang disusun berbentuk segitiga agar periuk dapat bertumpu dengan kuat di atasnya.
Secara terminologi, filosofi dari dalihan na tolu adalah kolaborasi antara tiga kelompok masyarakat yaitu kahanggi, anak boru dan mora.
Setiap kelompok masyarakat akan mendapatkan ketiga posisi ini secara adil dalam kehidupan masyarakat. Kadang kala di posisi kahanggi, kadang kala di posisi mora maupun kadang kala di posisi anak boru.
Mora berarti pihak yang memberikan boru (keluarga istri atau mertua), kahanggi yaitu kelompok satu marga atau teman serumpun menurut golongan marga, sedangkan anak boru kelompok penerima boru (keluarga suami atau menantu).
Asal mula adat Dalihan na tolu adalah rasa kasih sayang (holong). Kasih sayang akan membawa keakraban (holong maroban domu).
Kasih sayang yang dimaksud oleh nenek moyang masyarakat Mandailing bukan hanya sebagai hiasan atau slogan saja, tetapi harus dilaksanakan dalam kehidupan warga masyarakat.
Untuk melaksanakan rasa kasih sayang (holong) sesama masyarakat Mandailing itu tentu harus ada mekanisme berupa satu sistem nilai sosial atau sistem yang digunakan untuk melaksanakan kasih sayang dalam kehidupan bermasyarakat.
Sistem sosial tersebut didasarkan pada kelompok kekerabatan yang diikat oleh pertalian darah dan pertalian perkawinan. Kelompok kekerabatan inilah yang dijadikan sebagai tumpuan (dalihan na tolu).
Rismawati (2011) menyatakan bahwa sistem kekerabatan dalihan natolu dilatarbelakangi oleh tolak ukur soliditas menjalin struktur perkawinan masyarakat Batak Toba yang menghubungkan tiga kelompok marga besar, biasanya sampai 3-5 generasi, agar masih dapat mengidentifikasi dengan jelas garis keturunannya masing-masing.
Ketiga marga besar tersebut akan saling terikat dan saling membutuhkan, agar tetap eksis mengatasi potensi konflik yang ada. Sistem dan nilai budaya dalihan na tolu dapat dikatakan sebagai satu kearifan lokal. Sebagai satu sistem nilai budaya, dalihan na tolu memiliki aturan yang mengikat menjadi lebih bersifat emosional dan tradisonal.
Hal sangat dihargai adalah ikatan kekerabatan yang ditandai dengan (1) hubungan sosial yang bersifat pribadi, (2) penilaian berdasarkan kedekatan hubungan kekerabatan, (3) pelayanan atas dasar kedudukan dalam dalihan na tolu (diskriminatif), (4) perilaku yang diharapkan adalah manat mar-dongan tubu,somba mar-hulahula, elek mar-boru, (5) menggunakan prinsip ndang tu magon halak adong do iba, yang artinya jangan orang lain dulu kalau masih ada orang kita, dan (6) rezeki adalah buah perbuatan menolong kerabat (Armaidy, 2008).
Apakah Indonesia Berdaulat Secara Ekonomi?
Negara yang berdaulat adalah Negara yang memiliki kebebasan dalam menentukan kebijakan internal seperti kebijakan dalam ekonomi, sosial dan politik.
Negara yang berdaulat memiliki kontrol atas wilayahnya, baik secara fisik maupun secara hukum. Negara berdaulat adalah Negara yang dapat istiqomah menjaga identitas nasionalnya.
Oleh karena itu jika suatu Negara ingin berdaulat seyogianya harus memenuhi kualifikasi yang dijelaskan di atas.
Pada konteks ekonomi, sesungguhnya aspek ekonomi tidak boleh dipandang dapat berdiri sendirian melaikan harus dipandang secara universal.
Sebab jika terjadi pemahaman dikotomi pada aspek ekonomi maka yang terjadi adalah pemahaman ekonomi ortodoks yang berarti persoalan ekonomi tidak ada kaitannya dengan aspek kehidupan suatu bangsa.
Tentu hal ini adalah keliru, sebab ekonomi merupakan hal yang amat fundamental dalam melihat kemajuan suatu bangsa yang berkaitan dengan aspek-aspek penting lainnya.
Menurut data Bank Dunia (World Bank), lebih dari 60, 3 % penduduk Indonesia atau sekitar 171, 8 juta jiwa hidup di bawah garis kemiskinan Internasional dengan standar US $ 6,85 per kapita perhari. Standar US $ 6,85 purchasing power parity ini digunakan untuk Negara berpendapatan menengah ke atas (upper middle income), yang merupakan kategori Indonesia sejak 2023 dengan GNI per kapita US$4.870.
Selain masalah kemiskinan, Indonesia juga menghadapi masalah ketimpangan ekonomi yang cukup parah. Laporan Global Inequality Report 2022 menyebutkan bahwa Indonesia sebagai Negara keenam dengan ketimpangan tertinggi di dunia. Empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan lebih besar dari total kekayaan 100 juta penduduk termiskin.
Dalam 20 tahun terakhir, kesenjangan antara orang terkaya dan termiskin di Indonesia tumbuh dengan cepat dibandingkan dengan Negara lain di Asia Tenggara.
Berdasarkan data di atas, dapat kita pahami bahwa Indonesia belum berdaulat dalam mengurusi dan mengatasi persoalan ekonomi di Indonesia. Artinya secara structural Indonesia ditumpangi oleh kekuatan asing dalam mengatur Negara dan pemerintahan yang tidak lain dan tidak bukan adalah penerapan sistem kapitalisme.
Sistem kapitalisme menyebabkan akumulasi kekayaan di tangan segilintir elit, sementara rakyat kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar. Karena yang punya modal-lah yang menguasai sumber daya sehingga yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.
Jika Indonesia berdaulat, maka harusnya negara lah yang menindaklanjuti hal tersebut sehingga ada perubahan bukan malah abai dalam menyediakan kebutuhan rakyatnya seperti lapangan pekerjaan, pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan lainnya. Akibatnya terjadi kesenjangan ekonomi yang sangat parah.
Implementasi Falsafah “Dalihan Natolu” terhadap Kedaulatan Ekonomi Indonesia
Prof. Jamaluddin Ancok di dalam bukunya Prepare Your Succes mengatakan bahwa “untuk melakukan perubahan di dunia ini adalah dimulai dari yang paling kecil yaitu dimulai dari diri kita sendiri”.
Berdasarkan pernyataan tersebut, maka agar Indonesia kembali berdaulat hal yang pertama yang harus diperbaiki adalah mengevaluasi kondisi Internal bangsa Indonesia.
Hal itu sejalan dengan firman Allah SWT dalam suroh At-Tahrim ayat 6 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. Oleh karena melihat problematika bangsa kita hari ini yaitu kemiskinan, ketimpangan ekonomi dan persoalan kronis lainnya untuk merubah itu setiap elemen bangsa harus mengkoreksi dirinya masing-masing terutama para pemimpin bangsa yang diberi amanah. Baik dari sisi eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Sebagaimana sistem nilai yang terdapat Falsafah Dalihan na tolu yaitu bekerja sama dalam kegiatan hidup sehari-hari, baik dalam siriyaon (suka) maupun siluluton (duka). Artinya apapun posisi kita hari ini apakah sebagai Mora, kahanggi maupun anak boru, maka lakukanlah setiap posisi dan jabatan itu secara amanah dan professional.
Jika prinsip ini dijalankan maka makna dari kita berbangsa dan bernegara dengan konsep gotong royong dapat kita implementasikan dengan optimal.
Jika hari ini kita diberikan mandat oleh rakyat sebagai kepala Negara, kepala pemerintahan, legislator, yudikator maupun lainnya maka bertanggung jawablah terhadap bangsa dan Negara.
Bukankah Allah mengatakan pada surah Ali-Imron yang artinya “Masa Kejayaan dan Kehancuran itu kami pergilirkan di antara mereka manusia supaya mereka mendapatkan pelajaran”. Oleh karena itu jika hari ini posisi kita sebagai Mora, sebagai Kahanggi, maupun anak boru di bangsa ini bersikaplah dengan nasionalisme dan patriotisme yang tinggi. Sebab suka dan duka bangsa adalah tanggung jawab kita bersama, catatlah sejarah emas untuk bangsa Indonesia yang kita cintai ini.
Sehingga akhirnya Indonesia mampu berdaulat baik secara ekonomi, sosial, budaya dan menunjukkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar yang memegang teguh identitas nasional dan kearifan lokal daerahnya.
Implementasi Falsafah Dalihan na tolu dalam kedaulatan Ekonomi Indonesia juga dapat terlihat dari kewajiban dalam kehidupan bermasyarakat dengan istilah “Poso-poso pagar ni huta” dengan makna bahwa laki-laki/pemuda berkewajiban menjaga marwah, martabat dan kedaulatan desa/kampungnya.
Dalam konteks Indonesia, para pemimpin Negara dan bangsa seyogianya mereka yang mampu menjaga marwah dan kedaulatan Negara dari intervensi bangsa asing, juga sebagai rakyat mampu berkontribusi dan berkolaborasi dengan para pemimpin bangsa dalam mewujudkan cita-cita Bangsa Indonesia.
Referensi :
1. Alqur’an dan Terjemahan.
2. Sormin, Salman Alparis, dan Siregar Ali Padang. (2019) Dinamika Konflik dan Resolusi Berbasis Kearifan Lokal Pertambangan Emas di Hutan Batangtoru. Jurnal Education And Development, Vol. 7 No. 4.
3. Rismawati. 2011. “Perkawinan dan Pertukaran Batak Toba (Sebuah Tinjauan Strukturalisme Antropologi) Jurnal Academica, Fisip Untad, Vol. 03 No.2
4. Buletin Kaffah, No. 393
5. Jamaluddin Ancok, Prepare Your Succes, Jakarta : Gadjah Mada University, 1984
Tinggalkan Balasan