Ketahanan Pangan di Era Digital: Peluang dan Disrupsi Oleh : Wildany Welastiko
Ketahanan pangan, dalam definisi yang paling mendasar, merujuk pada kondisi ketika semua orang, setiap saat, memiliki akses fisik dan ekonomi terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan, diet dan preferensi pangan mereka demi kehidupan yang aktif dan sehat. Definisi yang dirumuskan pada World Food Summit tahun 1996 ini menjadi landasan penting dalam memahami kompleksitas isu pangan global dan nasional.
Dalam Jurnal Kebijakan Pembangunan: Artikel ini menggunakan definisi ketahanan pangan secara umum yang mencakup ketersediaan, akses, pemanfaatan, dan stabilitas sebagai landasan untuk menganalisis implementasi kebijakan ketahanan pangan nasional di Indonesia. Mereka tidak mengajukan definisi baru tetapi menggunakan definisi yang mapan sebagai kerangka analisis. Lebih dari sekadar ketersediaan, ketahanan pangan mencakup dimensi aksesibilitas, pemanfaatan, dan stabilitas dari sistem pangan itu sendiri. Di tengah gelombang transformasi digital yang melanda berbagai sektor kehidupan, termasuk pertanian dan sistem pangan, konsep ketahanan pangan pun mengalami pergeseran paradigma. Era digital menghadirkan peluang revolusioner sekaligus disrupsi yang signifikan terhadap upaya mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia. (Hakim, D. B., & Yulianti, N. 2022)
Salah satu peluang terbesar yang ditawarkan oleh era digital adalah peningkatan efisiensi produksi pertanian. Teknologi seperti sensor tanah dan cuaca, drone pemantau lahan, dan analisis data besar memungkinkan petani untuk mengoptimalkan penggunaan sumber daya seperti air, pupuk, dan pestisida. Pertanian presisi, yang didukung oleh data dan algoritma, tidak hanya meningkatkan hasil panen tetapi juga mengurangi dampak lingkungan. Platform e-commerce dan aplikasi rantai pasok digital memangkas jalur distribusi yang panjang dan kompleks, menghubungkan petani langsung dengan konsumen atau pasar yang lebih luas. Hal ini berpotensi meningkatkan pendapatan petani sekaligus menurunkan harga bagi konsumen, yang pada akhirnya memperkuat aksesibilitas pangan. Selain itu, informasi pasar real-time dan prakiraan harga komoditas yang akurat, yang disebarluaskan melalui platform digital, membantu petani dalam pengambilan keputusan yang lebih baik terkait jenis tanaman yang akan ditanam dan waktu panen yang tepat.
Ketahanan pangan, sebuah konsep multidimensi, merujuk pada kondisi ketika setiap individu memiliki akses fisik dan ekonomi terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan diet serta preferensi pangan demi kehidupan yang aktif dan sehat (World Food Summit, 1996).
Di Indonesia, isu ketahanan pangan memiliki kompleksitas tersendiri mengingat keragaman geografis, demografis, dan sosial ekonomi. Era digital, dengan segala inovasinya, menawarkan peluang sekaligus tantangan disrupsi dalam upaya memperkuat ketahanan pangan nasional.
Salah satu peluang signifikan yang dihadirkan oleh era digital adalah potensi peningkatan efisiensi dalam produksi pertanian. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) seperti sensor tanah, sistem irigasi pintar, dan drone untuk pemantauan lahan memungkinkan petani mengoptimalkan penggunaan sumber daya, mengurangi biaya produksi, dan meningkatkan hasil panen secara berkelanjutan (Wijaya & Rahayu, 2019). Selain itu, platform digital juga memfasilitasi akses petani terhadap informasi cuaca, harga pasar, dan praktik pertanian terbaik, yang mendukung pengambilan keputusan yang lebih tepat dan strategis.
Lebih lanjut, digitalisasi rantai pasok pangan memiliki potensi untuk memangkas inefisiensi dan kerugian pasca panen. Platform e-commerce dan aplikasi yang menghubungkan petani langsung dengan konsumen atau pedagang besar dapat memperpendek jalur distribusi, mengurangi biaya transportasi dan penyimpanan, serta meningkatkan transparansi harga (Hidayat & Sukardi, 2020). Hal ini tidak hanya menguntungkan petani dengan harga jual yang lebih baik tetapi juga memberikan akses kepada konsumen terhadap produk pangan yang lebih segar dan terjangkau.
Namun, di balik peluang yang menjanjikan, era digital juga membawa tantangan disrupsi yang perlu diatasi. Kesenjangan digital (digital divide) menjadi isu krusial di mana tidak semua petani dan masyarakat memiliki akses yang sama terhadap infrastruktur digital, perangkat teknologi, dan keterampilan digital yang dibutuhkan (Pratama & Kusuma, 2021).
Ketidakmerataan akses ini dapat memperlebar jurang ketidaksetaraan dalam sistem pangan, di mana petani yang melek teknologi akan jauh lebih diuntungkan dibandingkan dengan mereka yang tertinggal. Selain itu, keamanan siber menjadi perhatian penting dalam sistem pangan digital. Ketergantungan pada platform dan data digital meningkatkan risiko serangan siber yang dapat mengganggu rantai pasok, merusak data pertanian, atau bahkan memanipulasi pasar pangan (Suryani & Firmansyah, 2022).
Perlindungan data petani dan konsumen serta keamanan infrastruktur digital harus menjadi prioritas untuk memastikan keberlanjutan dan kepercayaan terhadap sistem pangan berbasis digital.
Disrupsi juga terjadi pada pola konsumsi dan preferensi pangan masyarakat di era digital. Paparan informasi dan promosi melalui media sosial dan platform digital dapat memengaruhi pilihan pangan konsumen, yang terkadang tidak selalu didasarkan pada pertimbangan gizi atau keberlanjutan (Rahman & Putri, 2023). Tren makanan instan dan olahan yang dipromosikan secara agresif secara daring dapat mengancam pola makan sehat dan beragam, yang merupakan aspek penting dari ketahanan pangan individu.
Melampaui solusi konvensional dan peluang yang dapat dihasilkan adalah kita dapat membayangkan sebuah ekosistem ketahanan pangan yang sepenuhnya terdesentralisasi dan berbasis komunitas. Setiap lingkungan permukiman, dari perkotaan hingga pedesaan, didorong untuk mengembangkan “lumbung pangan digital” mereka sendiri. Ini bukan hanya sekadar platform berbagi informasi hasil panen lokal, tetapi sebuah sistem otonom yang didukung oleh teknologi blockchain.
Setiap transaksi bibit, pupuk organik, hasil panen, hingga pengetahuan pertanian tercatat secara transparan dan aman, memberdayakan petani skala kecil dan konsumen secara langsung. Algoritma cerdas dalam sistem ini memprediksi kebutuhan pangan lokal berdasarkan data konsumsi real-time, pola cuaca mikro, dan siklus panen, secara otomatis menghubungkan surplus dan defisit antar lumbung pangan digital dalam radius tertentu melalui sistem logistik peer-to-peer yang dioptimalkan oleh kecerdasan buatan.
Lebih jauh, sistem ini mengintegrasikan insentif berbasis token kripto bagi praktik pertanian berkelanjutan dan partisipasi aktif komunitas, menciptakan ketahanan pangan yang resilien, adaptif, dan sepenuhnya dimiliki oleh masyarakat, meminimalisir ketergantungan pada rantai pasok global yang rentan terhadap disrupsi.
Opini ini menyimpulkan bahwa era digital menawarkan peluang transformatif bagi upaya mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia melalui peningkatan efisiensi produksi, pemangkasan rantai pasok, dan penyediaan informasi pasar yang lebih baik. Namun, di sisi lain, digitalisasi juga menghadirkan disrupsi berupa kesenjangan digital, risiko keamanan siber, perubahan pola konsumsi, dan potensi ketidakadilan dalam sistem pangan.
Untuk mengoptimalkan manfaat dan memitigasi risiko tersebut, diperlukan strategi komprehensif yang melibatkan investasi infrastruktur digital, peningkatan literasi digital, regulasi yang adaptif, kolaborasi lintas sektor, dan edukasi konsumen. Pemanfaatan teknologi digital yang tepat guna dan inklusif, yang memberdayakan petani skala kecil dan mendorong pilihan pangan yang sehat dan berkelanjutan, menjadi kunci untuk membangun sistem pangan yang lebih tangguh dan adil demi tercapainya ketahanan pangan nasional yang sejati di era digital ini.
Tinggalkan Balasan